Nasib "Mila" Ku Sayang

Hari itu adalah hari yang bisa dikatakan hari yang paling melegakan bagiku dan teman-teman. Betapa tidak,  semua mata pelajaran yang ada dalam Ujian Nasional (UN) tingkat SMP sudahku ikuti, tinggal tunggu hasilnya saja. Namun, bagus atau jelek nilai bukanlah sebuah hal yang penting bagiku.

Bahkan lulus atau tidak nantinya tidak menjadi masalah besar bagiku. Kira-kira begitulah pola pikirku dan anak-anak sekolah seusiaku di daerah ini.
Dulu, ketika masih kecil aku dan teman-teman sering bermain dilingkungan Bale meulasah (balai menasah) tempat yang sering orang tua-tua kampung kami nongkrong, bersantai, dan bercengkrama. Diantaranya adalah Syik Brahim yang sering memintaku dan teman-teman untuk memijitnya sambil bercerita humor.

Suatu hari pernah dia meminta kami satu persatu untuk menunjukkan telapak tangan. Pertama dia meminta tangan Haibi, sambil mengamati dengan cermat garis-garis tangan. Kemudian dengan senyum lebar begitu jelas nampak kosong mulutnya karena giginya sudah ompong. Dia bilang. “Kamu akan jadi Polisi Militer (PM)”.

Dengan girangnya haibi melompat berdiri mengambil bambu kecil dihimpinnya di ketiak sambil memeragakan seperti gaya komando tentara denagn tongakat komandonya. Kemudian giliran Jamal. Syik Brahim melihat telapak tangannya. Dia bilang suatu saat nanti Jamal akan jadi pilot.

Seperti halnya Haibi. Jamal pun sangat bangga begitu mendengar dia akan menjadi pilot. Setelah itu giliranku. Sambil mengamati telapak tanganku dengan seksama agak lama, dengan wajah agak cemberut dia bilang “kamu akan jadi seorang camat”. Aku tertunduk. Aku berharap dia mengatakan aku akan jadi menteri. seperti menteri B.J Habibi yang menjadi idola ku itu.

Begitulah kira-kira gambaran keinginan dan cita-cita kami waktu itu. Sebagai anak desa yang terpencil ini. Kami masih punya cita-cita tinggi dan juga ingin menjadi orang besar seperti jadi  menteri, pilot, dan perwira militer. Namun semua itu membutuhkan proses pendidikan kejenjang yang tinggi. Bahkan sampai keperguruan tinggi. Tanpa sekolah. Cita-cita yang bisa dikatakan setinggi langit itu tidak mungkin dapat diraih.

Sekarang kami sudah remaja dan tak lama lagi akan tumbuh dewasa. Wajib sekolah sembilan tahun yang ditetapkan oleh pemerintah baru saja kami penuhi sebagai anak bangsa yang taat pada pemerintah dan sebagai generasi penerus yang ingin membangun bangsa ini tentunya.

Seperti halnya anak-anak seusiaku yang lain. Dulu aku juga pernah menggantungkan cita-cita begitu tinggi. Namun sekarang cita-cita itu seakan terbenam begitu dalam. Sehingga sulit untuk timbul kembali. Syik Brahim dulu meramalkan aku akan jadi camat yang selalu ada dipikiran ku juga hampir terkikis oleh keadaan lingkungan daerah ku ini.

 Hampir tidak terlintas lagi dipikiranku untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Mungkin begitu juga dengan haibi dan Jamal. Karena untuk melanjutkan sekolah kami harus menempuh perjalanan yang begitu jauh. Untuk ke sekolah kami harus melewati desa-desa  yang ada di kecamatan tetangga.

Mengingat kecamatan Mila sampai saat ini belum ada satu pun sekolah setingkat SMA. Kondisi pendidikan di Mila sangat menyedihkan memang. Jika mengingat kemerdekaan Indonesia sudah mencapai hampir umur 67 tahun. Apalagi jika dibandingkan dengan Aceh yang banjir dana dari pusat setiap tahunnya. Namun Mila belumlah bisa dikatakan merdeka dari segi pendidikan dan perekonomian.

Hal ini bisa dilihat dari segi penyediaan fasilitas pendidikan tingkat SMA yang tak pernah ada dalam sejarah Mila dan dari segi penyediaan fasilitas infrastruktur mobilitas perekonomiannya juga bisa dibilang begitu sadis karena seumur hidupku yang sekarang sudah 17 tahun. Hanya merasakan satu kali pengaspalan khususnya jalan Lala-Beu-ah.

Aku tak ingat lagi tahun berapa pengaspalan jalan itu dilakukan karena dilakukan semasa Aku masih belum sekolah. Setelah itu. Mila ini hanya menikmati  aspal dari kotoran lembu sampai saat ini. Jika musim kemarau. Kami terpaksa makan debu dijalan. Sebaliknya jika musim hujan datang maka siapa saja yang melintasi jalan ini  harus mahir mengendara motor secara zig zag untuk menghindari sumur-sumur genangan air hujan dijalan.

Tahun lalu. Mila juga dilanda banjir bandang musiman akibat hujan deras dan luapnya air Krueng Reubee (Sungai Reubee). Bagi masyarakat Mila banjir bandang bukanlah kejadian yang langka karena tiap tahunnya banjir bandang terjadi paling tidak dua kali. Biasanya terjadi antara bulan September sampai bulan Desember.

Banjir bandang tahun lalu itu berimbas pada longsornya beberapa badan jalan di desa kami yang mengundang Bupati Pidie untuk datang melihatnya. Waktu itu para tokoh masyarakat meminta dia mengucurkan dana untuk memperbaikinya dan sekaligus mengaspalnya. Karena jalan tersebut merupakan sarana vital mobilisasi hasil pertanian Kecamatan Mila.

Dia berjanji akan sesegera mungkin mengalokasikan dana untuk perbaikan jalan. Dia juga berjanji akan mengaspal jalan Mila tahun depan (tahun ini). Alhamdulillah. Jalan yang terkena longsor tersebut sudah selesai diperbaiki sekarang. Namun untuk pengaspalannya belum ada tanda-tanda akan dilaksanakan tahun ini.

Sebenarnya bagiku. Masalah jalan bukanlah hal yang menghilangkan selera untuk melanjutkan sekolah tapi masalah tidak adanya sekolah lanjutan tingkat SMA di daerah ku ini yang menjadi masalah serius yang bisa mengancam cita-cita ku. Begitu juga dengan cita-cita Jamal dan Haibi. Mungkin saja pemimpin daerah ku ini terlalu berpedoman pada penetapan pemerintah yang mewajibkan sekolah sembilan tahun.

Sehingga anak-anak di Mila ku ini hanya boleh sekolah dari Sekolah Dasar (SD) sampai  Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja “hanya sembilan tahun seperti yang diwajibkan pemerintah. Tidak boleh melanjutkan ketingkat lebih tinggi”. Terbukti karena sampai sekarang tak satupun Sekolah Menengah Atas (SMA) dibangun di Mila.

Beberapa bulan lagi akan diadakan pilkada di Aceh untuk pemelihan kepala daerah. Baik gubernur maupun bupati. Siapa saja nama bupati Pidie yang terpilih nantinya bukanlah hal yang penting. Karena menurut ku. Dari dulu Mila ku ini adalah anak tirinya pemerintah Pidie. Namun bagi ku adalah mengharapkan nantinya pemimpin yang betul-betul berkomitmen membangun pendidikan secara merata sampai kepelosok.

Mudah-mudahan pemerataan pembangunan sampai ke Mila. Sehingga Aku, Haibi, Jamal dan anak-anak Mila seusia ku dapat mengejar cita-cita dan mimpi seperti Syik Brahim ramalkan waktu kami masih senang-senangnya bermain dulu. Semoga![]







Comments

Anonymous said…

Tulisan yang sangat bagus. saya sebagai pembaca merasa terbawa dalam suasana yang anda gambarkan melalui rangkaian huruf dan kata.
Anonymous said…
Tulisan yang hebat terbawa suasana dalam kisahnya
akmal said…
Haturkan terimakasih sudah berkunjung ke blog kami

Popular posts from this blog

Desa Blang, Kampung Semangka

Sepuluh Gunung Api Meletus Paling Dasyat Di Indonesia

Hantu Aceh Berdasarkan Tempat