Aceh: Tinggal Kha, Hilang Malem

Aceh: Tinggal Kha, Hilang Malem
Oleh
Muhammad Nur Akmal
 “Ureueng Aceh kha” dan “ureueng Aceh malem.” Dua ungkapan yang membanggakan ini tidak jarang keluar di mulut orang Aceh, baik dari para orang tua maupun anak muda. Ungkapan “Ureung Aceh Kha” bermakna bahwa orang Aceh pemberani dan bisa juga diartikan orang Aceh gagah, disegani kawan maupun lawan. Jika dipelajari, karakter orang Aceh  memang pemberani, teguh dalam memegang pendirian, suka berperang dan lain-lain. Sedangkan “Ureung Aceh Malem” dapat diartikan bahwa orang Aceh taat beragama, teguh dalam berkeyakinan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perjuangan orang Aceh ketika mengusir penjajah Belanda dari negeri ini, meskipun dalam keadaan tertekan pada masa itu. Namun, pahlawan Aceh tetap pada pendiriannya berperang mempertahankan kehormatan negeri ini dan menegakkan agama walaupun harus kehilangan nyawa.
Namun, dua ungkapan ini seakan tidak lagi menggambarkan karakter orang Aceh tatkala baru-baru ini tersebar kabar di media, bahwa ada dugaan aliran sesat telah masuk ke wilayah yang memiliki julukan Serambi Mekkah. Bahkan diduga telah menyusup sampai ke kalangan intelektual di kedua universitas Jantong Hate Rakyat Aceh: IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah. Parahnya lagi, diduga yang membawa ajaran itu adalah orang Aceh itu sendiri.
Nah, jika aliran sesat telah masuk ke kalangan perguruan tinggi, maka tidak salah kata pepatah Aceh dulu, “bek jak sikula manyang-manyang, jeut keu kafe. (jangan sekolah tinggi-tinggi, jadi kafir). Menurut hemat saya, pepatah ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang bersekolah tanpa berbekal dengan pondasi akidah yang kuat. Namun, jika pondasi akidah dan ilmu agama sudah kuat, apa salahnya menuntut ilmu dunia sampai ajal tiba, bukankah ilmu dunia itu bisa dipelajari berbarengan dengan ilmu agama?
Jika menilik ungkapan ”Ureung Aceh Kha” dan “Ureung Aceh Malem”, maka saya berasumsi bahwa tidak mungkin aliran sesat dapat leluasa masuk ke daerah yang bersyariat islam ini jika itu kembali diterapkan dalam kehidupan orang Aceh. Pemerintah juga tidak perlu menghabiskan anggaran tiap tahunnya untuk membiayai “pasukan” Wilayatul Hisbah sebagai penjaga syariat islam, karena mengingat masyarakat Aceh yang pemberani, taat beragama dan teguh dalam berkeyakinan.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya, jika ureung Aceh kha, kenapa ada yang membawa aliran sesat masuk ke daerah ini? Dan  jika ureung Aceh malem, kenapa ada yang ikut dan menjadi anggotanya? Menurut saya, orang Aceh masih kha dalam menyikapi masuknya aliran sesat, terbukti saat kejadian beberapa hari terakhir ini baik yang terjadi di Bireuen maupun di Banda Aceh. Begitu mendengar ada isu tentang penyebaran aliran sesat, tanpa ada paksaan dari siapapun dengan sendirinya masyarakat berbondong-bondong datang untuk mengamankan pelaku yang diduga mengajarkan aliran sesat.
Namun, jika berbicara soal malem, saya tidak berani mengatakan bahwa orang Aceh itu malem, bila melihat kondisi generasi muda Aceh sekarang ini. Sebagai contoh, kini tidak ada perbedaan antara malam Minggu dengan malam Jumat: jumlah pasangan muda-mudi yang lalu-lalang di jalanan terkadang tidak ada bedanya. Seakan-akan hukum pacaran itu sudah jadi halal di provinsi ini, padahal Aceh memberlakukan syariat islam. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan generasi Aceh beberapa puluh tahun ke depan akan mengalami kedangkalan akidah yang semakin parah. Kepedulian terhadap generasi muda perlu ditingkatkan karena orang muda adalah sasaran yang rentan terhadap ancaman aliran sesat.
Dari permasalahan di atas, dapat kita renungkan sejauh mana kesiapan dan kemampuan diri pribadi kita sebagai generasi muda dan masyarakat Aceh dalam membentengi diri, keluarga, dan lingkungan kita dari ancaman aliran sesat. Untuk itu kita harapkan peran aktif pemerintah, majelis ulama, dan keluarga dalam menyikapi dan membasmi aliran sesat ini dari provinsi Aceh, agar tidak menjadi “api dalam sekam” yang suatu saat siap membara kembali. Jika semua unsur masyarakat saling waspada dan menjaga lingkungan dari ancaman pendangkalan akidah, maka aliran sesat dalam bentuk apapun tidak akan mampu menembus generasi muda kita.
Perkembangan Aliran Sesat
Sebenarnya, perkembangan aliran sesat dalam agama islam sudah ada sejak masa kekhalifahan Abubakar Shiddiq. Aktor yang mengaku sebagai Nabi pada masa itu adalah Musailamah Alkazab. Mengetahui ancaman pendangkalan akidah mulai masuk ke wilayahnya, Khalifah Abubakar mengambil keputusan bahwa siapa saja yang masuk sebagai anggota dan mengikuti ajaran nabi palsu adalah orang murtad, dan, orang yang keluar dari agama islam hukumannya adalah hukuman mati. Tak hanya pengikutnya saja yang terkena hukuman mati, Musailamah Alkazab sang nabi palsu juga binasa dengan hukuman yang diterapkan oleh Khalifah Abubakar Shiddiq.
Setelah beberapa abad Musailamah Alkazab terhukum, kemudian muncul lagi seorang nabi palsu yang mengaku dirinya menerima wahyu dan mengaku sebagai pembawa kabar gembira. Ia adalah Mirza Ghulam Ahmad yang lahir pada 1835 M di Qadian, provinsi Punjab, India, pelopor ajaran sesat jamaah Ahmadiyah yang mengakui bahwa dirinya adalah seoarang nabi. Aliran sesat ini memiliki banyak pengikut di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Perkembangan aliran sesat di Indonesia sudah ada sejak masa Orde Lama, dimana pada saat itu yang masuk hanya aliran Ahmadiyah, dan hal itu dapat diredam oleh pemerintah. Saat itu presiden Soekarno mengharamkan jamaah Ahmadiyah beraktivitas di Indonesia. Namun, seiring bergantinya masa, jumlah aliran sesat yang berkembang di Indonesia makin bertambah, mulai dari jamaah Ahmadyah, ajaran Lia Eden yang mengaku sebagai Nabi kemudian diangkat menjadi Jibril setelah menobatkan anaknya sebagai nabi. Kemudian baru-baru ini di Aceh muncul lagi ajaran Millata Abraham yang disebut-sebut mengikuti ajaran nabi Ibrahim as.
Pemerintah kita sampai saat ini juga belum punya satu ketetapan hukum yang pasti untuk menjerat dan membasmi para pelaku penyebar aliran sesat ini. Masa kekhalifahan Abubakar Siddiq memberlakukan hukuman mati untuk orang-orang yang murtad. Namun, zaman telah berubah. Hukuman pancung tidak lagi bisa dipertahankan karena adanya lindungan Hak Asasi Manusia yang telah memudarkan hukuman-hukuman yang ada dalam ajaran islam yang bisa mendamaikan umat manusia. Setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan syariat islam maka akan dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sekalipun begitu, negara kita juga bukan negara yang menganut hukum islam dalam tata laksana negara.[]
Penulis adalah mahasiswa Unsyiah dan pegiat studi di Rumoh Aceh Community, Banda Aceh.

Comments

Popular posts from this blog

Desa Blang, Kampung Semangka

Sepuluh Gunung Api Meletus Paling Dasyat Di Indonesia

Hantu Aceh Berdasarkan Tempat