Sejarah Pemberitaan Tsunami dan Pentingnya Pendidikan Bencana

Sebelum bencana tsunami 2004 belum banyak masyarakat yang mengetahui atau mendengar istilah dari kata stunami, terutama di Aceh. Sebelumnya masyarakat juga belum memiliki pengetahuan tentang apa tanda-tanda akan terjadinya tsunami juga tidak tau langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri dari bencana tsunami. Masyarakat juga tidak tahu bahwa wilayah atau daerah yang mereka tempati merupakan wilayah rawan bencana tsunami sehingga masyarakat Aceh pada saat itu tidak siap dalam menghadapi bencana dan menimbulkan banyak korban jiwa yang seharusnya bisa saja tidak sebanyak itu jika masyarakat memiliki pengetahuan tentang penyelamatan dari bencana tsunami.

Pemberitaan mengenai gelompang besar yang melanda Helmahera sudah pernah diberitakan di media massa (Kompas) pada tahun 1969 tepatnya tanggal 25 April. Namun pada saat itu nama tsunami belum dikenal. Gelombang besar yang diberitakan tersebut masih disebut dengan kata gelombang pasang. Sebulan kemudian tepatnya pada tanggal 1 Mei 1969 Kompas memberitakan lagi bahwa telah terjadi gelombang besar yang diakibatkan oleh gempa bumi telah terjadi lagi di Helmahera. Tidak hanya itu, pemberitaan mengenai gelombang besar juga diberitakan pada tahun 1979 dengan judul  “Gelombang Raksasa di Pantai Selatan Lomblen” yang menelan korban jiwa sebanyak 154 penduduk setempat. Pada saat itu media telah menulis kata tsunami namun bukan di bagian judulnya. Setelah itu pemberitaan media massa mengenai tsunami yang terjadi di Flores pada 19 Desember 1997 yang menelan korban jiwa sebanyak 90 orang.

Sejarah Pemberitaan Tsunami dan Pentingnya Pendidikan Bencana
Pemberitaan Tsunami di Helmahera
Sejarah Pemberitaan Tsunami dan Pentingnya Pendidikan Bencana
Pemberitaan Tsunami di Flores

Dari kenyataan pemberitaan media massa, ternyata pemberitaan mengenai tsunami sudah pernah terjadi dan disebarluaskan ke seluruh penjuru Indonesia. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa tsunami Aceh pada tahun 2004 menelan korban jiwa sangat banyak? Salah satu jawabannya barangkali kurangnya informasi yang sampai kepada masyarakat dan faktor kelupaan masyarakat. Masyarakat akan mudah lupa pada suatu peristiwa yang terjadi ditempat lain tidak menjadi suatu pembelajaran yang berarti sehingga diabaikan begitu saja.

Pemberitaan mengenai pengurangan risiko bencana atau berkaitan dengan bencana sebelum tsunami 2004 belum menjadi mainstream oleh media massa menjadikan berita mengenai bencana sangat tabu bagi masyarakat sebelum tahun tsunami 2004. Pengetahuan tentang bencana terbukti menyelamatkan banyak jiwa pada bencana tsunami 2004. Seperti pengetahuan bencana yang sudah terbentuk sebagai suatu karifan lokal misalnya kearifan lokal yang disebut SMONG di Seumeulu telah menyelamatkan banyak warga di pulau tersebut. Tsunami 2004 merenggut 200.000 korban jiwa di mainland Aceh. Di pulau Simeulu hanya menelan 5 korban jiwa. 

Pengetahuan lokal yang diceritakan melalui dongeng-dongeng dan syair-syair secara turun temurun terbukti menyelamatkan nyawa dari ancaman bencana tsunami. Namun yang menjadi petanyaan besar adalah kenapa pengetahuan lokal tersebut tidak sampai kepada masyarakat yang tinggal di Banda Aceh atau mainland Aceh. Di Jepang suatu kearifan lokal juga dibangun yang dikenal dengan Tendenko, juga terbukti menyelamatkan mereka dari tsunami yang terjadi pada tahun 2011. Kearifan lokal yang diajarkan disekolah-sekolah pada anak-anak Jepang terbukti menyelamatkan mereka dari bencana yaitu dari hanya 5 korban jiwa dari 2900 anak-anak di Tohoku.

Comments

Popular posts from this blog

Desa Blang, Kampung Semangka

Sepuluh Gunung Api Meletus Paling Dasyat Di Indonesia

Hantu Aceh Berdasarkan Tempat