Pengemis di Kota Banda Aceh, Refleksi 10 Tahun Pasca Bencana Tsunami Aceh

BRR melaporkan melalui buku seri bidang ekonomi dana yang dialokasikan untuk pemulihan bidang ekonomi melalui dana APBN sebesar 2,65 triliun yang terealisasi sebesar 80,2% atau sebesar 2,13 triliun. Dengan dana sebesar itu banyak yang telah dilakukan BRR untuk pemulihan kembali perekonomian Aceh.

Pengemis di Kota Banda Aceh, Refleksi 10 Tahun Pasca Bencana Tsunami Aceh
Ilustrasi

Setelah 10 tahun bencana tsunami terjadi kini masih banyak menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah Aceh masalah satu selesai namun masalah lain muncul. Salah satunya permasalahan pengemis yang semakin hari nampaknya semakin bertambah. Permasalahan pengemis kelihatan sederhana namun jika dilihat dari segi sosial maka hal ini menjadi masalah serius. Sebagaimana kita melihat, upaya yang dilakukan pemerintahan Kota Banda Aceh untuk mengatasi banyaknya pengemis sepertinya kurang berhasil.



Tahun 2008 jumlah pengemis di Aceh mencapai 1.884 dimana secara nasional Aceh berada peringkat ke 6. Jumlah pengemis di Kota Banda Aceh tercatat hanya 10 orang pada tahun tersebut. Banda Aceh merupakan Kota Besar yang bisa menjadi rujukan para pengemis dari luar daerah.

Setelah di hantam Bencana Tsunami 10 tahun yang lalu. Pasca Rehabilitasi dan Rekontruksi perekomian Kota Banda Aceh semakin membaik, hal ini berkontribusi terhadap minat pengemis untuk datang ke Kota Banda Aceh. Oleh karena itu, jika dilihat dalam keseharian kita sering menjumpai para pengemis yang berbeda-beda juga ada beberapa orang pengemis lama, namun kebanyakan pengemis baru. Jumlah pengemis mungkin saja meningkat namun belum ada data secara pasti berapa jumlah mereka.

Selama ini Pengemis anak-anak usia sekolah juga kerap dijumpai baik di persimpangan jalan maupun di tempat keramaian di Kota Banda Aceh. Saat diwawancarai mereka mendapatkan penghasilan 20-30 ribu rupiah per hari. Mereka disuruh orang tuanya untuk mengemis. Setiap pagi anak tersebut diantar ke tempat mengemis dan sorenya dijemput bahkan terkadang sampai malam. Anak-anak tersebut tidak pernah menikmati bermain layaknya teman seusianya mereka juga tidak dapat merasakan bangku pendidikan sekolah. Selain penegemis anak juga sering dijumpai pengemis perempuan dengan mengendong bayi. (baca Serambi Indonesia 06/11/2014). Indikasi pengemis secara terorganisir patut dikaji mengingat banyaknya jumlah anak mengemis pada usia sekolah bisa saja mereka merupakan korban eksploitasi tenaga kerja anak untuk kepentingan pihak tertentu.

Perilaku pengemis dengan cara mengemis di jalanan tentunya sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. Mereka merupakan kelompok rentan terhadap kecelakaan lalu lintas dan juga mengganggu pengendara keselamtan pengguna jalan lain. Pengemis tidak juga tidak sekedar meminta-meminta di perempatan lampu lalu lintas, melainkan sudah ke ruko-ruko dan juga rumah warga secara door to door.

Munculnya pengemis pertama disebabkan oleh adanya suatu kondisi dimana mereka mendapat perhatian dan apresiasi dari masyarakat, seperti memberikan sumbangan secara langsung kepada pengemis. Hal ini membuat pengemis berpikir bahwa pekerjaan dengan menjadi pengemis itu dapat memperoleh pendapatan dengan mudah.

Kedua, kondisi sosial ekonomi yang belum mencapai pada taraf kesejahteraan sosial yang baik, menyeluruh dan merata.

Ketiga, Hilangnya sumber mata pencaharian, keterbatas fisik dan keterampilan memaksa seseorang untuk mengemis.

Keempat, kurangnya tanggungjawab keluarga yang membiarkan anggota keluarganya untuk mengemis. 

Kelima, Hilangnya rasa malu pada setiap individu pengemis.

Masih banyak faktor lain yang bisa mendukung kelima faktor di atas. Secara umum bisa dikatakan bahwa di kotalah sebenarnya tempat asal gejala gelandangan, hal ini di sebabkan oleh adanya push and full factors.

Masalah Pengemis perlu mendapat penanganan dan perhatian sedini mungkin secara konseptional dan pragmatic, agar tidak membawa dampak negative yang lebih rawan serta dapat mengganggu stabilitas di bidang: politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat, maupun dapat menimbulkan citra negatif terhadap keberhasilan pembangunan nasional dewasa ini.

Pengemis juga tidak serta merta disalahkan, terlebih 10 tahun pasca bencana tsunami banyak pengemis berdalih dengan alasan korban bencana tsunami. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang himbauan yang dikeluarkan pemerintah Kota Banda Aceh juga belum mendapat perhatian sepenuhnya, ini dilihat masih banyak warga kota Banda Aceh yang masih memberikan sumbangan langsung kepada pengemis, tentunya hal ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pengemis.

Setiap permasalahan harus ada suatu solusi dalam pemecahannya, tentunya penerapan kebijakan pemerintah tidak akan maksimal jika tidak melibatkan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu peran serta dan kesadaran masyarakat akan pentingnya untuk mematuhi setiap himbauan pemerintah sangat membantu dalam mengurangi jumlah pengemis di Kota Banda Aceh.

Perlunya suatu sistem penanganan pengemis yang lebih berorientasi pendidikan, pelatihan dan rehabilitasi, jika hanya dengan memberikan sanksi pidana kepada pengemis tidak akan cukup efektif untuk menekan jumlah pengemis yang ada.

Kemudian Perlu adanya suatu program yang membantu mengarahkan kesadaran bagi masyarakat miskin dengan menumbuhkan rasa malu untuk menjadi seorang pengemis. Keluarga merupakan indikator penting dalam hal menciptakan pengemis. Oleh karena itu pencegahan dapat dilakukan melalui pendekatan kesadaran tanggung jawab dan kepedulian keluarga terhadap pengemis.

Oleh: Muhammad Nur Akmal dan Mujiburrahman

Comments

Popular posts from this blog

Desa Blang, Kampung Semangka

Sepuluh Gunung Api Meletus Paling Dasyat Di Indonesia

Hantu Aceh Berdasarkan Tempat