Mesin Jahit dan Kambing Hitam

Ceritanya begini, saat itu aku masih duduk dibangku SD kelas satu, umur ku masih delapan tahun. Aku tidak tahu entah kenapa perbuatan ku waktu itu selalu memabayangi ku sampai sampai saat ini. Mungkin saja karena yang ku lakukan adalah hal buruk pertama dalam hidup ku.

Mesin Jahit dan Kambing Hitam
Ilustrasi

Aku kecil memang suka menggambar. Apapun yang ku lihat akan menjadi menarik untuk dicurahkan dalam gambar. Sebagai media menggambar, aku tidak mengenal yang namanya buku tulis, buku gambar, buku bacaan. Yang namanya bisa dicoret menjadi media menggambar, sepatu, tas, dinding, pagar rumah penuh dengan coretan gambar.

Nah, mau tau apa hal yang telah ku perbuat, sehingga saya memposisikan diri menjadi orang paling salah pada adik perempuan ku sampai saat ini?

Sebenarnya ini aib yang tidak perlu aku ceritakan tetapi aku harus melakukannya karena untuk berbagi pengalaman kepada orang lain mungkin bisa jadi sebagai renungan ataupun pembelajaran positif yang dapat di ambil dari cerita ini.

Begini ceritanya, saat itu aku dan adik perempuan ku pulang sekolah. Kebetulan kami satu kelas. Ayah kami baru saja membeli mesin jahit untuk keperluan latihan kustum untuk kakak kami yang paling tua.

Saat itu kehidupan ekonomi orang tua kami memang sedang morat marit karena ayah tidak lagi berjualan disebabkan toko yang dikelolanya terbakar masa konflik sehingga beliau menjadi pengangguran untuk membeli mesin jahit untuk kakak kami itu beliau sisihkan uang sisa dari modal usahanya.

Hari itu dengan polosnya aku dan adik perempuan pulang sekolah dan melihat mesin jahit di pintu depan rumah kami. Setelah melihat-lihat sejenak kami. kami sangat gembira saat itu karena aku fikir itu benda dibeli untuk kami. Adik ku masuk kamar untuk ganti seragam sekolah sedangkan aku begitu melihat mesin langsung terbayang kalau itu adalah tempat menggambar yang menyenangkan tidak berfikir lama ku ambil paku. Paku memang menjadi alat tulis yang baik untuk menggores permukaan papan mesin jahit yang begitu mulus dan bersih itu.

Sampai sekarang masih terbayang bagaimana saat itu aku menggambar dengan perasaaan senang sekali karena media yang saya jumpai begitu bagus yaitu papan terpelitur yang halus dan licin. Sekejab saja aku hampir memenuhi permukaan papan mesin jahit dengan beberapa layangan dan mobil.

Sedang asiknya menggambar adik ku keluar dengan polosnya dia juga melihat-lihat apa yang aku gambarkan saat itu. Namanya anak kecil suka meniru dan dia juga ikut senang dengan apa yang aku gambarkan, dia juga ingin menggambarkan kupu-kupu di mesin jahit tersebut. Sejenak aku keluar untuk mencari paku satu lagi, paku yang aku pegang ku berikan untuknya.

Belum lama aku kembali ayah kami sudah ada disana dengan wajah memerah dan adik ku menangis ketakutan, aku datang dan ayah menanyakan siapa yang mencoret-coret mesin jahit karena takut aku menunduk dan diam.

Mata ayah tertuju pada adik ku yang sedang memegang paku dekat mesin jahit tersebut. Ayah mengambil kesimpulan kalau yang melakukan coretan itu adalah adik dengan tangannya yang kekar beliau menyeret, memukulnya.

Adik ku manangis sejadi-jadinya. Namun tidak mengakui kalau aku yang melakukan coretan gambar-gambar mesin jahit tersebut. Aku menjadikan dia sebagai kambing hitam terhadap apa yang telah ku lakukan. Aku merasa bersalah setelah kejadian itu seharusnya sebagai abangnya saat itu aku menjadi lebih bertanggungjawab terhadapnya. Bisa saja mengaku kalau aku yang melakukan itu sehingga orang lain tidak manjadi korban terhadap apa yang ku lakukan. Namun saat itu aku masih sangat kecil dengan keterbatasan sebagai anak-anak aku menyaksikan adik ku sendiri sebagai kambing hitam terhadap apa yang telah ku perbuat.

Pengalaman hidup itu menjadi pembelajaran berarti yang menjadikan ku orang yang lebih bertanggungjawab terhadap apa yang ku perbuat. Jika aku tidak bertanggungjawab maka imbasnya bukan hanya kepada ku tetapi kepada orang lain. Sejak kejadian itu, aku belum meminta maaf pada adik ku itu. Walaupun kami sudah dewasa dan sekarang dia sudah memiliki keluarga sendiri. Sebagai adik yang hebat yang rela menerima hukuman demi abangnya. Namun sebaliknya saat itu aku sabagai abang adalah menjadi orang yang lemah dan licik karena hanya diam saja menyaksikan adik ku dihukum dan menjadikannya sebagai kambing hitam terhadap apa yang telah ku lakukan.

Mengkambinghitamkan orang memang sering terjadi didalam kehidupan  baik dalam persaingan bisnis maupun dalam persaingan politik. Buruknya perangai orang yang mengkambinghitamkan orang lain aku umpamakan sebagai hewan buas atau semacam ular berbisa dimana saat ekornya terjepit maka dia akan menggigit siapa saja yang ada di dekatnya sabagai lampiasan berharap ekornya yang terjepit bisa terlepas walaupun ekornya tidak terlepas juga namun selebihnya akan menyisakan kepedihan kepada orang lain akibat bisa gigitan atau kelakuannya itu.

Demikianlah sedikit banyak pengalaman traumatik yang aku alami. Tentunya menjadi sebagai bahan pelajaran yang dapat diambil untuk tentunya menjadi lebih baik kedepan dalam menghadapi setiap kejadian yang dialami sehingga menjadi orang yang lebih bertanggungjawab terhadap apa yang telah dimulai.

Comments

Bisa jadi kenangan yang ngga terlupakan haha

Popular posts from this blog

Desa Blang, Kampung Semangka

Sepuluh Gunung Api Meletus Paling Dasyat Di Indonesia

Hantu Aceh Berdasarkan Tempat